Mati dalam Thalabul Ilmi
Nabi shallahu alaihi wa sallam bersabda,
يُبْعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ
“Akan dibangkitkan setiap hamba di atas keadaan ia meninggalnya” (HR. Muslim).
Kita harus menyadari bahwa barangsiapa yang hidup di atas sesuatu maka ia akan mati di atas sesuatu tersebut, maksudnya ketika ada seseorang yang kebiasaannya melakukan suatu amalan, maka besar kemungkinannya ia menutup usia di atas amalan yang menjadi kebiasaannya tersebut.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ
“Barang siapa yang akhir ucapannya ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud. Hadits dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Selintas betapa mudahnya mengamalkan kandungan hadits di atas. Tapi apakah yakin kita bisa melakukannya saat nafas telah di ujung kerongkongan? Dalam keadaan kita tidak tahu akhir kehidupan kita bagaimana dan sedang apa..?! Husnul khatimah kah atau su’ul khatimah?
Maka jika kita sudah sadar, bahwa sangat sulit untuk bisa memastikan pertanyaan di atas, tentu kita tidak bisa diam dan berpangku tangan, hal ini harus kita perjuangkan dan ada usaha untuk meraihnya.
Asy Syaikh Al Albani rahimahullahu di dalam karyanya yang berjudul ‘Ahkamul Janaiz’ (hal. 58) mengulas pembahasan tanda-tanda husnul khatimah, dan di antaranya adalah membawakan sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa mengucapkan laailahaillallah karena mencari wajah Allah (ikhlash) kemudian amalnya ditutup dengannya, maka ia masuk surga. Barangsiapa berpuasa karena mencari wajah Allah kemudian amalnya diakhiri dengannya, maka ia masuk surga. Barangsiapa bersedekah kemudian itu menjadi amalan terakhirnya, maka ia masuk surga.” (HR. Ahmad dan dinyatakan oleh Syaikh Al Albani bahwa sanad hadits ini shahih).
Syaikh Al Albani rahimahullahu memahami hadits di atas tidak menjadikan ketiga amalan yang tersebut sebagai pembatasan, namun ini berlaku umum. Apapun amalan shalih yang ikhlash ketika dilakukan seorang hamba menutup usianya, maka ia bisa diharapkan sebagai orang yang mati husnul khatimah.
Dari pijakan hadis di atas juga, sudah semestinya kita perhatian terhadap kebiasaan masing-masing. Mulai dalam mencari nafkah, problem keluarga, mendidik anak, kegiatan pondok, ta’awun ma’had, dan sejumlah kegiatan dan aktivitas harian lainnya, hendaknya semua harus diniatkan ikhlash mengharap wajah Allah semata, agar bernilai ibadah dan bukan sekedar rutinitas biasa tanpa pahala.
Sebaliknya, janganlah rasa bosan dan jenuh menghinggapi aktivitas ibadah kita. Futur dalam beramal adalah perkara yang berbahaya. Segeralah untuk memompa semangat baru. Carilah jenis amalan-amalan ibadah lain yang bisa dikerjakan di luar amalan-amalan yang biasa kita kerjakan. Ketika kita merasa jenuh menghafal, maka kita bisa mengganti dengan membaca. Ketika lemah dalam membaca, maka bisa kita ganti dengan mendengar, dan seterusnya. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa terus beramal, jangan beri celah kejelekkan untuk masuk mengisi kekosongan.
Ketika kita merasa turun semangat untuk thalabul ilmi, maka ingatlah, apa tujuanmu thalabul ilmi? Tujuan kita thalabul ilmi bukan dengan hasil akhirnya, tapi hendaknya lebih dititikberatkan kepada prosesnya. Hasil akhir bukan wewenang kita, tapi itu adalah ketentuan Allah semata. Kita hanya diwajibkan untuk menjalani prosesnya dan istiqamah di dalamnya, bahkan sampai akhir hayat kita.
Sulit memahami pelajaran, susah menambah menghafal, jenuh di pondok, tidak cocok dengan salah seorang teman, kurang tidur, sedikit makan, maka itu semua adalah warna-warni seorang thalabul ilmi. Baik santri ataupun yang bukan santri. Ketika semua itu ada, maka ingatlah semua mesti ada ujian dan rintangannya. Harus dihadapi dengan sabar dan doa. Yakinlah semua kesulitan dan kesempitan di dalam proses thalabul ilmi adalah penuh ganjaran dan bertabur pahala.
Sampai kapan kita thalabul ilmi? Maka jawablah seperti Imam Ahmad menjawab, “Sampai mati !”. Iya, sampai mati. Perhatikanlah kisah Abu Zur’ah yang menutup usianya dengan mengucapkan kalimat laailahaillah. Ketika Abu Zur’ah sakit menjelang wafatnya, teman-temannya beliau ingin menalqinkannya dengan kalimat laailahaillallah, tapi mereka segan karena kedudukan beliau sebagai seorang imam ahlul hadits besar, maka salah seorang temannya membacakan untaian perawi yang menghantarkan kepada isi hadits tentang menalqinkan seorang yang ingin menutup usianya. Maka di tengah sanad hadits tersebut Abu Zur’ah melanjutkannya sampai terucaplah kalimat laailahaillallah tersebut di lisan Abu Zur’ah ketika jelang wafatnya, subhanallah.
Kisah di atas sudah semestinya bisa memotivasi kita untuk semangat dalam memperjuangkan akhir hayat ini dengan thalabul Ilmi.
Sungguh heran jika ada seorang yang berstatus thalabul Ilmi, baik santrinya maupun yang bukan santrinya, merasa bingung dengan kekosongan waktu ketika seorang pengajar atau ustadz yang akan mengisi di majelis ilmu tidak hadir. Padahal waktu kekosongan itu bisa dimanfaatkan dengan ibadah-ibadah lainnya. Kedudukan waktu bagi seorang thalabul Ilmi sangatlah berharga. Waktu adalah modal bagi seorang thalabul ilmi untuk ibadah dan berkarya.
Betapa banyak contoh-contoh para ulama ahlussunnah yang mempunyai karya-karya fenomenal. Berjilid-jilid tulisan telah mereka sumbangkan untuk agama ini. Bagaimana itu terhasil? Tentu itu karena waktu-waktu yang mereka manfaatkan. Seorang thalabul Ilmi seharusnya merasa kekurangan waktu, dan jika ada waktu yang bisa untuk dibeli, niscaya mereka akan rela mengantri untuk membelinya, sebagaimana orang-orang yang di luar sana juga berharap demikian. Orang-orang yang kesehariannya sibuk dengan dunia, ingin juga membeli waktu untuk menambah penghasilan dan pemasukan income dunianya.
Jadi, thalabul ilmi sampai kapan? Thalabul ilmi sampai mati! Mati dalam Thalabul Ilmi.
(Tulisan terhasil dari catatan tausiyah bada shubuh bersama Al Ustadz Abu Nasim Mukhtar hafizhahullahu ta’ala di Mahad Riyadhul Jannah-Cileungsi, 18 Dzulqadah 1443H / 18 Juni 2022)